Hai, OMstor (alias Omah Movie visitor hehe)
setelah melahirkan film Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009), Mira
Lesmana dan Riri Riza kembali berpasangan menjadi produser dan sutradara. Sama
seperti film box office mereka
sebelumnya, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, film Sokola Rimba, juga
terinspirasi dari sebuah buku yang ceritanya mengangkat isu pendidikan.
Membaca buku Sokola
Rimba karya Butet Manurung, Mira mengungkapkan Riri langsung berkomentar, “Ini
buku harus kita filmkan!” Di wawancara eksklusif Mira dan Riri untuk muvila.com,
Riri bercerita bahwa cerita “Sokola Rimba” memiliki potensi yang selalu dinanti
dari sebuah cerita. Film Sokola Rimba ini dapat dinikmati oleh seluruh kalangan
masyarakat. “Ketika kita membuat film tentang masyarakat rimba sekarang akan
dapat ditonton sepuluh, dua puluh tahun lagi yang akan datang menjadi sebuah
dokumen yang berharga buat Indonesia,” ungkap Riri.
Pesona rimba lengkap
dengan petualangan Butet Manurung mengajar di sana, dia tulis sendiri menjadi
sebuah buku menginspirasi banyak orang. Riri mengungkapkan, “Film ini butuh
pesona juga dari seorang perempuan yang bisa memainkannya, mengolahnya, dan
bisa menjadi menarik gitu, dan Pia saya lihat mempunyai kompleksitas itu.”
Tidak semua aktor atau aktris punya kenyamanan buat masuk ke sebuah ruangan
kaya rimba, tapi kenyamanan itu dapat Mira dan Riri temui pada diri Prisia
Nasution. “Lo harus tidur di tenda lho, lo harus mandi di sungai lho, lo harus
bergaul dengan kebiasaan-kebiasaan mereka,” kata-kata Mira untuk Pia. “Dia
nggak masalah,” ungkap Mira mengesankan sosok aktris peraih piala Citra, Prisia
Nasution atau akrab dipanggil Pia.
Pemutaran perdana dan
Konferensi Pers “Sokola Rimba” ini diadakan di Epicentrum XXI Rasuna Said,
Jakarta, Selasa (12/11). Acara ini
dibuka oleh Ronal Surapradja sebagai pembawa acara dalam Preview Film dan
Konferensi Pers lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari rekan-rekan media.
Dalam kesempatan pemutaran perdana film tersebut dihadiri oleh Riri Riza
sebagai Sutradara, Mira Lesmana sebagai Produser, Prisia Nasution, Butet
Manurung, dan pemain pendukung lainnya.
Berikut ulasan tentang
film Sokola Rimba atas karya dan petulangan Butet Manurung:
Sokola
Rimba

Sutradara : Riri Riza
Penulis : Riri Riza
Pemeran : Prisia Nasution, Nyungsang Bungo,
Nengkabau, Beindah, Rukman Rosadi, Nadhira Suryadi, Ines Somellera, Netta KD,
Dery Tanjung
Tanggal edar : Kamis, 21 November 2013
Sinopsis
Indonesia Pasca
Reformasi. Setelah hampir tiga tahun bekerja di sebuah lembaga konservasi di
wilayah Jambi, Butet Manurung (Prisia Nasution) menemukan hidup yang
diinginkannya: mengajarkan baca-tulis dan berhitung kepada anak-anak masyarakat
Suku Anak Dalam, yang dikenal sebagai Orang Rimba, yang tinggal di hulu sungai
Makekal di hutan bukit Duabelas.
Suatu hari Butet
terserang demam malaria di tengah hutan. Seorang anak tak dikenal datang
menyelamatkannya. Nyungsang Bungo (Nyungsang Bungo) nama anak itu, berasal dari
Hilir sungai Makekal, sekitar 7 jam perjalanan dari tempat Butet mengajar.
Diam-diam Bungo telah lama memperhatikan ibu guru Butet mengajar membaca.
Pertemuan dengan Bungo
menyadarkan Butet untuk memperluas wilayah kerjanya ke arah hilir sungai
Makekal. Keinginannya itu tidak mendapatkan restu baik dari tempatnya bekerja,
maupun dari kelompok rombongan Bungo yang masih percaya bahwa belajar baca
tulis bisa membawa malapetaka bagi mereka.
Kecerdasan dan
keteguhan hati Bungo membuat Butet mencari segala cara agar bisa tetap mengajar
Bungo. Sampai saat malapetaka yang ditakuti oleh Kelompok Bungo betul-betul
terjadi. Butet terpisahkan dari masyarakat Rimba yang dicintainya.
OMstor mau tahu terhadap kisah tokoh
asli di balik cerita film yang menginspirasi, lihat, ini dia ulasannya.
B
|
utet Saur Marlinang Manurung, putri
bangsa berdarah Batak kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972. Perempuan luar biasa
yang mendedikasikan diri sebagai guru bagi suku pedalaman Jambi. Dia seorang
pahlawan pendidikan. Majalah Time menganugerahinya "Heroes of Asia Award
2004".
Namanya Saur Marlinang
Manurung. Teman-temannya biasa memanggilnya Butet. Dia merasakan betul
ketidakberdayaan Orang Rimba yang tak bisa baca tulis saat mereka seringkali
dimanfaatkan "orang terang". Orang terang adalah sebutan yang
diberikan Orang Rimba terhadap seseorang di luar komunitas mereka.
Orang Terang sering
menipu mereka. Tanah mereka kerap dirampas lewat selembar surat perjanjian.
Para perampas itu sering mengatakan pada mereka jika selembar kertas itu adalah
sebuah penghargaan dari kecamatan, kemudian mereka diberi uang yang jumlahnya
sangat sedikit. Setelah itu mereka diminta untuk membubuhkan cap jempol di atas
sehelai kertas. Karena buta huruf, mereka turuti saja apa kemauan orang terang,
mereka tidak menyadari bahwa itu adalah penipuan.
Kini berkat jerih payah
Butet yang telah mengabdikan dirinya untuk mengajar baca-tulis bagi suku Anak
Dalam atau Kubu di Taman Nasional Bukit 12 (TNBD) dan Bukit 30, Jambi, sejak
1999 ini. Meski sempat mendapat penolakan dari masyarakat Rimba itu sendiri
karena menganggap pendidikan merupakan budaya luar dan bukan budaya Orang
Rimba.
Namun Butet yang selalu
optimis dan pantang menyerah ini berhasil meyakinkan masyarakat rimba bahwa
pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar. Para
anak-anak Suku dalam pun sudah dapat lebih teliti. Ketika akan melakukan proses
jual-beli, membaca akta perjanjian, dan dapat menghitung sehingga tidak lagi
menjadi korban penipuan.
Sokola Rimba (sekolah
rimba) yang dia bangun bukanlah sebuah sekolah formal yang lazimnya ada di
masyarakat, yakni berbentuk sepetak bangunan tembok dan beratap genteng. Sokola
itu hanya berbentuk dangau kecil tak berdinding yang bersifat nomaden. Jadi
jika tak dibutuhkan lagi bisa segera ditinggalkan.
Jika ditanya, dimana
alamat Sokola Rimba itu, maka dengan mudah Butet menjawab, "Pada koordinat
01' 05' LS - 102' 30' BT." Karena sentra sekolah itu tak pasti desa maupun
kecamatannya.
Dalam pola pengajaran,
Butet menerapkan cara belajar yang berbeda, mengenalkan huruf per huruf
berdasarkan bentuk dan cara mengejanya. Misalnya, A seperti atap, C seperti
pegangan periuk, ucapkan M dengan mulut dikatupkan. Huruf pun dirangkai dalam
14 kelompok berpasangan. Berkat metode mengajarnya ini, tahun 2001 Butet
dianugrahi "The Man and Biosphere Award" dari LIPI-UNESCO.
Begitupun saat
murid-muridnya mulai menulis. Lulusan Guru Besar Antropologi pada Universitas
Indonesia (1962-1999) antropologi Universitas Padjadjaran
membagikan buku tulis bergaris, pensil, dan pena. Bagi murid yang tidak
kebagian alat-alat sekolah, mereka mengambil ranting dan menggarisi di atas
tanah. Tak jarang, saat tiba waktunya menggambar, salah satu murid menangkap
seekor kijang kecil. Binatang itu ditidurkan di atas kertas dan mulailah sang
murid menggambar ruas-ruas tubuh kijang tersebut.
Untuk mengatasi
kebutuhan jumlah pengajar, Butet membuat sistem melatih anak-anak yang sudah
mahir untuk menjadi guru. Butet mengistilahkan tim kecilnya ini sebagai kader
guru. Dengan 14 orang kader guru angkatan pertama Sokola Rimba inilah Butet terus
merangsek ke jantung rimba. Dalam buku Sokola Rimba, Butet banyak membahas
tentang suka dukanya dalam memberikan pendidikan pada orang rimba.
Butet yang selalu optimis dan pantang
menyerah ini berhasil meyakinkan masyarakat rimba bahwa pendidikan dapat melindungi
mereka dari ketertindasan dunia luar. Para anak-anak Suku dalam pun sudah dapat
lebih teliti. Ketika akan melakukan proses jual-beli, membaca akta perjanjian,
dan dapat menghitung sehingga tidak lagi menjadi korban penipuan.
Dia masuk ke dalam jajaran
wanita berpengaruh versi majalah Globe Asia edisi Oktober 2007, menempati
peringkat 11 dari 99 perempuan paling berpengaruh di Indonesia dengan skor
94,7. Diatas Yenny Wahid yang memiliki skor 94,5. Sementara itu, peringkat
pertama dipegang Megawati Soekarnoputri dengan skor 98,5.
Berawal
dari Iklan
Saat merasa jenuh
menjadi pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon pada media 1999, pemilik
dua gelar kesarjanaan, Sastrawan, Pendiri PDS H.B. Jassin
sastra Indonesia dan Guru Besar
Antropologi pada Universitas Indonesia (1962-1999)
antropologi dari Universitas Padjajaran
ini membaca sebuah iklan di harian Kompas: "Dicari fasilitator pendidikan
alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi." Bunyi iklan dari Lembaga
Swadaya Masyarakat Warung Informasi Konservasi (Warsi) itu menggugahnya.
"Mungkin inilah yang kucari," kata batin Lihat Daftar Tokoh Perempuan
wanita kelahiran Jakarta, 21 Februari
1972 ini.
Pada tujuh bulan
pertama ketika berada di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, dimana
Orang Rimba berada, Butet tidak langsung mengajar. Dia harus meriset berbagai
kehidupan Orang Rimba mulai dari pola pengasuhan anak, hubungan orangtua dengan
anak, hubungan antar anak sambil berbaur dengan mereka.
Selain pendidikan
dasar, baca, tulis dan hitung, dia menerapkan pula pola pendidikan advance
yaitu pengetahuan tentang dunia luar, life skill, dan pengenalan tentang
organisasi, sehingga bisa menjadi mediator ketika mereka bersinggungan dengan
dunia luar, agar mereka tak mudah dieksploitasi lagi.
Selama delapan tahun,
wanita penerima anugerah "Woman of The Year" tahun 2001 di bidang
pendidikan oleh televisi swasta Anteve ini, menggerakkan Sokola-Kelompok
Pendidikan Alternatif. Kini, Sokola Alternatifnya sudah menyebar di 10 daerah,
diantaranya Jambi, Aceh, Makassar, Bulukumba (Sulawesi), Flores, Pulau Besar
dan Gunung Egon, Halmahera, Klaten, Bantul, dan Kampung Dukuh (Garut).Sayang,
Kampung Dukuh sudah berhenti, jadi tersisa hanya sembilan.
Wanita yang juga
penerima penghargaan dari majalah Time sebagai "Heroes of Asia Award
2004" dan peraih "Woman of The Year" bidang pendidikan oleh
televisi swasta Anteve pada tahun 2004 ini, selalu merasa nyaman di hutan
karena sejak masih mahasiswa sudah akrab dengan hutan. Karena begitu masuk ke
sana, menurutnya, seakan jarum jam berhenti, identitas gelar sarjana yang
dimilikinya terlupakan dan yang paling membuatnya terharu dan tak akan
dilupakan, saat semuanya memanggilnya "Bu Guru".
[Shintaloka Pradita S]
Sumber:
Posting Komentar